PERANG WACANA SBY VS SULTAN



Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...

Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta yang terus menuai pro kontra diduga sudah menimbulkan konflik personal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan Hamengkubuwono. Konflik ini ditakutkan membuat substansi persoalan keistimewaan menjadi kabur.

Selama ini, sikap presiden terkesan berlama-lama menggodok konsep RUUK Yogyakarta. Padahal soal substansi keistimewaan lebih penting untuk dibicarakan saat ini daripada adu wacana antara Jakarta dan Yogyakarta yang diwakili pernyataan SBY dan Sultan, keduanya tokoh nasional .

Pada rapat kabinet terbatas, Presiden SBY mengingatkan tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi. Pernyataan ini dibalas Sultan bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan presiden. Menurut Sultan, Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain.

Sultan menegaskan, persoalan pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu merupakan ranah kepentingan rakyat. Proses pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu tergantung rakyat karena yang menentukan mereka.

"Jika bicara demokratisasi itu pengertiannya pemilihan, bagaimana dengan jabatan wali kota Jakarta. Jabatan itu tanpa pemilihan, tetapi tidak ada yang mempermasalahkan, tidak ada yang menyatakan tidak demokratis," kata Sultan.

Oleh karena itu, Sultan berharap ada dialog publik yang didasari ketulusan dan kejujuran, sehingga masyarakat dapat menjadi subjek dalam demokrasi.

Dalam kaitan ini, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana menilai, konflik kedua tokoh bangsa ini tampak sangat personal. Di tingkat masyarakat muncul persepsi ada pertentangan meruncing antara SBY dan Sultan.

“Pernyataan Presiden SBY tentang keistimewaan DIY menyempitkan persoalan menjadi hanya kontradiksi antara sistem pemerintah monarki dan demokrasi. Pernyataan ini dibaca banyak pihak, termasuk Sultan sebagai pernyataan yang sangat personal karena mempersoalkan eksistensinya sebagai pimpinan daerah,” kata Dwipayana, kemarin.

Bahkan Dwipayana memaparkan, keistimewaan DIY seharusnya dimaknai lebih luas pada kewenangan-kewenangan lain. Seperti pada bidang pertanahan, tata ruang, budaya, dan pendidikan. Argumentasi pemerintah menyempitkan makna keistimewaan menjadi sekadar rekrutmen pimpinan daerah saja.

“Itu terlalu menyederhanakan persoalan,” ujarnya. Walau begitu, di balik isinya, dia melihat pernyataan presiden menguak sikap politiknya untuk mendukung pemilihan sebagai mekanisme pengisian jabatan gubernur DIY.

Masyarakat sejatinya ingin agar demokrasi tidak dilihat tidak sekadar pada aspek prosedural mengenai pemilihan atau penetapan, melainkan yang lebih substantif.

INILAH

Posting Komentar

0 Komentar