PENGUNGSI MERAPI ALAMI GANGGUAN JIWA, BELASAN SUDAH GILA

Please comment & share this article, thanks!

Gunung Merapi masih menyimpan energi yang misterius. Sewaktu-waktu, energi yang berada di bawah kubah lava itu bisa meledak. Jika itu terjadi, akibatnya bisa lebih fatal dibanding tiga erupsi besar sebelumnya yang terjadi pada 26 Oktober, 1 November, dan 5 November) lalu.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dr Surono menjelaskan, awan panas yang meluncur dari puncak diperkirakan kecepatannya meningkat. Selain itu, jarak luncurnya juga bisa lebih jauh. "Sore ini (kemarin) ada awan panas tiga kilometer ke arah Kali Gendol dengan waktu kurang dari tiga menit. Memang lebih berbahaya karena sekarang ini sudah free, bebas hambatan," jelasnya di Posko BNPB, Jogjakarta kemarin (11/11).

Pria asal Cilacap, Jawa Tengah itu mencontohkan, ibarat seorang yang menghembuskan asap rokok dengan ditutupi telapak tangan, lalu telapak tangan itu dibuka. Jika dibandingkan, jarak asapnya tentu lebih jauh. "Ini yang cukup mencemaskan, karena kalau lengah bisa berbahaya sekali, terutama saat ada relawan yang evakuasi jenazah ke zona bahaya," katanya.

Pakar lulusan Universite Joseph Furier, Gronable, Perancis itu menjelaskan, bahaya awan panas juga akan semakin bertambah jika kecepatan angin di puncak bertambah. "Sekarang ini, selalu cenderung ke arah barat daya, itulah mengapa hampir setiap hari Magelang, Muntilan dan sekitarnya hujan abu," katanya.

Sedangkan gempa tremor beruntun dan guguran tercatat 18 kali terjadi. "Kita juga sedang menganalisa apakah gempa tektonik yang sebelumnya terjadi pada tanggal 9 yang lalu itu berefek langsung pada Merapi. Semoga saja tidak," kata Surono.

Dari citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), panjang kawah Merapi mencapai 1200 meter (1,2 km) dengan lebar menganga antara 300 hingga 400 meter. Lebaran kawah itu berdamapak juga pada tumpukan kubah lava. Surono menjelaskan, pada erupsi besar yang terakhir tanggal 5 November 2010, ada 3,5 juta meter kubik material yang dilemparkan sekaligus.

Setelah itu, sedikit demi sedikit Merapi terus menimbun kubah lava baru. "Ancaman yang paling riil tentu awan panas dan lahar. Untuk awan panas itu sangat bergantung pada arah angin, jadi sampai malam ini (tadi malam, red) kita masih tetapkan status awas dan zona belum berkurang yakni 20 kilometer," imbuhnya.

Di bagian lain, erupsi besar 5 November lalu menciptakan kontur wilayah yang sama sekali berbeda di daerah Kali Gendol. Bahkan, makam Mbah Maridjan di dusun Srunen dipastikan terkubur lautan material panas Gunung Merapi, bersama tujuh dusun di kelurahan Glagaharjo, Cangkringan, Sleman.

Lokasi ketujuh dusun tersebut berada di daerah aliran sungai (DAS) Kali Gendol. Dusun yang hanya berjarak 500 meter dari Kali Gendol hancur lebur. Bangunan rumah terpendam material vulkanik berikut bebatuan ukuran besar. Tidak ada lagi  burung berkicau, tidak ada dedaunan warna hijau. Semua pepohonan meranggas dan roboh diterjang lahar panas.

Ketujuh dusun yang hancur tersebut ialah Ngancar, Glagahmalang, Singlar, Srunen, Kali Tengah Kidul, Kali Tengah Lor dan Klangon. "Kita sampai tadi belum bisa
mengira-ira lokasi makam simbah (Maridjan). Apakah disebelah kanan yang itu,  atau yang mana," ujar Eko Sulistyo, salah seorang relawan SAR yang kemarin ikut
melakukan penyisiran ke Srunen. Adik ipar Mbah Maridjan yaitu istri dari Pudi Sutrisno dan anaknya (cucu Mbah Maridjan) Narudi, yang tewas bersama dalam rumah Mbah Maridjan turut dimakamkan di Srunen.

Sebelum Merapi meletus, kedalaman jurang Kali Gendol sekitar 250 meter dari pinggir desa. Sekarang, jurang tersebut sudah penuh dengan material vulkanik.

Karena tak mampu menampung, material vulkanik luber dan menenggelamkan tujuh dusun, termasuk makam Mbah Maridjan.

Sementara itu, dari hasil kerjasama tim Disaster Victim Identification dan tim forensik RS Dr Sardjito identifikasi terhadap jenazah yang sulit dikenali semakin menunjukkan hasil. Kemarin, 10 jenazah berhasil diketahui identitasnya. Mereka rata-rata berasal dari dusun Ngancar, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman.

Saat ini keluarga yang melaporkan kehilangan anggotanya mencapai 235 orang terlapor. Jenazah yang diterima meninggal dunia di lokasi sebanyak 98 orang dan
total diketahui sampai dengan kemarin sebanyak 60 orang. Jadi, masih ada 38 jasad yang belum teridentifikasi.

Menurut Kepala Humas RS Sardjito Trisno Heru, selain bertugas melakukan identifikasi terhadap jenazah yang tidak dikenal, RS Sardjito masih merawat 96 korban dengan rincian 22 orang mengalami luka bakar dan 74 orang menjalani perawatan non luka bakar.

Sedangkan jumlah korban tewas akibat erupsi Gunung Merapi sudah mencapai 205 orang. Jumlah itu termasuk korban dari erupsi pertama pada 26 Oktober lalu. Hingga pukul 15.30 WIB, korban meninggal di daerah Jogjakarta mencapai 171 orang, dengan korban luka bakar 149 dan non lukabakar 22.

Untuk korban meninggal di daerah Jawa Tengah sudah 34 orang, dan korban luka bakar 8 dan luka nonbakar 26. Data korban ini dirilis Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito, yang merujuk pada update data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
     
Selain korban tewas, BNPB juga mencatat hingga kemarin total jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa. Jumlah pengungsi terbesar dilaporkan di Kabupaten Magelang yakni 91 ribu jiwa. "Kami terus melakukan inventarisasi. Apalagi jumlah pengungsi juga terus bertambah," kata Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Sutrisno, Magelang, kemarin.

Menurut dia, sebagian kondisi pengungsi labil dan tertekan di tempat pengungsian. Bahkan, belum genap dua minggu tinggal, sebanyak 27 pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr Soerodjo Kota Magelang. Mereka diindikasikan mengalami stres dan trauma berat paska erupsi eksplosif Merapi.

Lalu data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Soejarwadi, Klaten, tercatat 19 orang pengungsi masuk dalam kategori gangguan jiwa berat. Jadi total pengungsi yang "gila" sementara ini ada 46 orang (dari Magelang-Klaten). "Ada yang menjalani perawatan di RSJD ini ada juga yang dirawat mandiri oleh keluarganya," ujar Direktur Utama RSJD Soejarwadi Endro Supriyanto, kemarin (11/11).

Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah Priyantono Djarot Nugroho mengatakan, mereka mengalami trauma akibat kehilangan orang yang dicintai maupun akibat hancurnya rumah dan sawah yang menjadi mata pencaharian selama ini. "Banyak yang harus kehilangan seluruh harta bendanya," ujar Djarot.

Dengan kondisi Merapi yang masih fluktuatif hingga kemarin, diperkirakan jumlah pengungsi yang mengalami stres akan bertambah banyak. Apalagi hingga saat ini belum diketahui kapan aktivitas tinggi gunung itu akan berhenti. "Semakin lama tinggal di lokasi pengungsian akan semakin banyak pengungsi yang stress," jelasnya.

Direktur medik dan keperawatan RSJ Prof Dr Soeroyo, dr Nur Dwi Esti SPkj mengatakan, pihaknya akan melakukan perawatan intensif kepada para korban. Bahkan, secara khusus mereka akan diberikan terapi stimulus positif sampai mereka bisa melupakan segala kejadian yang membuat tertekan. "Sementara ini pengungsi yang dirujuk ke sini (RSJ-red) akan berada di bangsal khusus, setelah satu minggu mereka baru bisa dipindah di bangsal penenangan," lanjutnya.

Berdasarkan hasil observasi dan pendampingan yang di lakukan pihaknya menyimpulkan, sebagian besar pengungsi mengalami tekanan psikologis akibat bencana gunung Merapi tersebut. Dari sampel 50 orang pengungsi yang diklasifikasi berdasarkan umur, 60 persen memerlukan terapi psikologi." "Kami berharap diturunkan relawan untuk membantu mengurangi beban mental para pengungsi sebelum pulang," tuturnya.

Di sisi lain, kemarin ribuan pengungsi dilaporkan mulai kembali ke rumah masing-masing kemarin. Selain merasa jenuh, mereka juga menilai kondisi sudah aman sehingga memutuskan untuk pulang. Pengungsi pulang ini tidak hanya yang berada di wilayah Magelang, namun juga yang ada di Kota Boyolali.

Bahkan dari total pengungsi di Boyolali yang mencapai 66.993 jiwa, sekitar 30 persennya sudah pulang. Langkah pengungsi ini sebetulnya tidak atas kehendak pemkab. Sebab, situasi puncak Merapi masih dalam kondisi bahaya. "Mungkin mereka sudah jenuh dan kebanyakan memang dari daerah di luar kawasan rawan bencana (KRB)," kata Asisten III Setda Boyolali yang sekaligus koordinator penanggulangan bencana Merapi, Syamsudin.

Para pengungsi yang pulang tersebut di antaranya yakni dari Desa Bakulan, Kembang Kuning, Bibis Kecamatan Cepogo. Desa Tampir Kecamatan Musuk, dan Jelok, Kecamatan Cepogo. Reso Waluyo, 46, warga Kembang Kuning, Cepogo, menuturkan dia memilih pulang karena kondisi sudah aman dan untuk mengurusi ternak yang ditinggal. "Sebenarnya sudah dari kemarin ingin pulang, tapi baru bisa hari ini bersama-sama yang lain," tutur dia.

Penanggung Jawab Pos Induk Satkorlak PB Klaten Joko Rukminto mengatakan, jumlah pengungsi belum valid karena pergerakan mereka masih terus terjadi setiap saat. "Kondisi inilah yang membuat petugas di lapangan kesulitan untuk mendata jumlah pengungsi di Pos Pengungsian. Misal untuk satu pos jika didatangi siang hari jumlahnya 100 jiwa, namun pada malam hari jumlahnya bisa mencapai 500 jiwa,?ujarnya.

Temuan tersebut menjadi masalah dalam pendistribusian logistik dari Pos Induk ke pos pengungsian yang tersebar di lebih dari 200 titik. Karena jumlah makanan yang didistribusikan kadang tidak sesuai dengan jumlah pengungsi. "Setiap hari harus dievaluasi untuk mendapatkan jumlah pasti pengungsi. Harus kembali dicek satu per satu di pos pengungsian," tambahnya.

Masih seringnya pengungsi yang kembali ke rumah menjadi salah satu masalah yang belum dapat ditemukan solusinya oleh Satkorlak PB. Karena pengungsi tidak lapor kepada koordinator pos pengungsian. Laporan yang dating dari kecamatan yang ada titik - titik pengungsian juga sering berubah. Sehingga Pos Induk harus menyesuaikan dengan data terbaru dari lapangan..Faktor inilah  yang membuat data selalu  berubah dalam hitungan jam.

Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten Edi Hartanto  mengatakan,  pendataan jumlah pengungsi menjadi faktor penting untuk kelancaran distribusi barang. Karena jumlah logistik yang akan dibagikan tentu harus disesuaikan dengan jumlah pengungsi di setiap pos pengungsian.

"Kami berharap satkorlak benar-benar serius dalam mendata jumlah pengungsi ini. Yang perlu diperhatikan adalah pergerakan pengungsi dari satu titik ke titik lain. Atau mereka yang meninggalkan tempat pengungsian untuk pulang ke rumah," ujarnya.

JPNN

Posting Komentar

0 Komentar