Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)
Parlindoengan Loebis (1910-1994) seorang dokter pernah merasakan lima tahun tinggal di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman.
Dia baru bebas pada 1945. Setelah itu, Parlindoengan langsung kembali ke Indonesia. Carisoetan, anak Parlindoengan, menuturkan setelah bebas ayahnya menjadi pribadi yang berbeda.
Ayahnya sangat temperamental dan keras. Ia gampang sekali memukulkan benda apa saja yang ada di tangannya. Padahal, menurut cerita neneknya, sang ayah hampir tak pernah marah. "Saya pernah kena pukul raket tenis," kata Carisoetan seperti dikutip Majalah Tempo edisi September 2006.
Sejak pulang dari Belanda, Parlindoengan juga tak pernah lagi menjalankan salat. Menurut Carisoetan, suatu hari ayahnya pernah berkisah tentang kekejaman di kamp itu. "Dalam keadaan mengerikan itu, lalu di mana Allah?" ayahnya menggugat.
Parlindoengan kemudian menjadi ateis. Ia kembali beragama sejak menjadi wali pernikahan Carisoetan pada 1980. "Waktu itu ayah minta tolong istri saya untuk diajari lagi tata cara salat," ujar Carisoetan.
Di Tanah Air, Parlindoengan juga berpindah-pindah tempat. Sepanjang 1947-1950, ia menetap di Yogya dan berkerja sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan. Setelah itu, ia bekerja sebagai dokter perusahaan Borneo Sumatra Handel Maatschapj di Jakarta sembari sorenya buka praktek di rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru.
Pada 1959, Parlindoengan hijrah ke Tanjungpandan, Bangka-Belitung. Ia bekerja sebagai dokter di PT Timah Unit Belitung. Di perusahaan pertambangan itu ia bertahan hingga Juli 1966. Ia cuma mendapat uang pensiun Rp 11.000.
TEMPO
0 Komentar