Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Sirojul Mukhlasin Payaman II, Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyatakan akan memperketat seleksi penerimaan santri baru setelah salah satu alumnusnya menjadi pelaku penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/2/2018).
Abdul Hamid, salah satu pengasuh ponpes tersebut, menyatakan apa yang dilakukan Suliono, pelaku penyerangan Gereja Santa Lidwina, sama sekali tidak mencerminkan ajaran yang diajarkan di ponpes tersebut.
"Ke depan, akan kami ketatkan penerimaan santri. Pengawasan terhadap keseharian santri juga akan ditingkatkan. Selama ini kami tidak terpikir akan terjadi seperti ini karena ajaran pondok sangat bertentangan dengan kekerasan dan radikal," ujar Hamid, saat ditemui wartawan, Kamis (15/2/2018) sore.
Hamid mengatakan, ponpesnya terbuka dengan masyarakat, serta memegang teguh faham Ahlusunnah Wal Jamaah yang sejalan dengan ponpes Nahdlatul Ulama (NU) pada umumnya. Ponpesnya memiliki pandangan positif tentang Islam Rahmatan Lil Alamin.
"Ponpes tidak pernah ajarkan kekerasan dan hal-hal yang bersifat radikal, apalagi terorisme. Pondok kami memiliki pandangan positif tentang Islam Rahmatan Lil Alamin. Sejak berdiri 102 tahun lalu, pondok masih berpegang teguh dalam menganut, mengajarkan, dan menyebarkan faham Ahlusunnah Wal Jamaah, sejalan dengan pesantren NU lainnya," tutur Hamid.
Hamid menyatakan, lingkungan di dalam ponpes senantiasa mencerminkan kehidupan yang penuh kasih sayang. Hal itu terlihat dari keseharian para santri ketika di dalam ponpes maupun di luar ponpes. Hamid pun yakin bahwa Suliono telah mendapat pengaruh radikal dari luar ponpes.
"Ajaran dan suasana pondok tidak mendukung tumbuhnya paham kekerasan seperti ini. Dia (Suliono) dapatkan itu bukan dari pondok, tapi dari luar. Alumni dan orangtua juga sudah memahami itu. Yang melakukan kekerasan itu individu atau oknum, dia sendiri sudah bukan santri di Ponpes Sirojul Mukhlasin," tambahnya.
Selain akan memperketat penerimaan santri, pihaknya juga akan melakukan penataan di dalam ponpes supaya pengaruh buruk dari luar tidak sampai masuk dan memengaruhi santri yang masih menempuh pendidikan di ponpes tersebut.
"Pelajaran yang ada di ponpes selama ini tidak ada yang salah. Tinggal bagaimana caranya agar pengaruh dari luar tidak sampai memengaruhi santri," imbuh putra kedua KH Mukhlisun itu.
Suliono, pemuda asal Kabupaten Banyuwangi itu, sempat menimba ilmu di Ponpes Sirojul Mukhlasin Payaman II selama dua tahun, sejak tahun 2015-2017. Pada Juni 2017, Suliono melanjutkan pendidikannya ke Ponpes Sirojul Muhlasin Payaman I di Desa Payaman selama sekitar lima bulan.
Pada Desember 2017, Suliono dicoret sebagai santri di Ponpes Sirojul Muhlasin Payaman I lantaran kerap membolos dan tidak mematuhi peraturan ponpes.
"Sejauh laporan yang kami dapatkan, memang dia sempat berbicara pada teman-temannya. Tapi, pemikiran dan pembicaraan ini tidak cocok dengan teman-temannya sehingga akhirnya menjadi banyak penyendiri karena pemikirannya berlawanan ajaran ponpes," ungkap Hamid.
Setelah kejadian penyerangan di Gereja Lidwina, pihaknya mengimbau kepada semua wali murid dan masyarakat untuk menjaga kedamaian, keamanan, ketenangan, dan ketertiban, serta tidak terpancing isu-isu yang menyesatkan. Pihaknya mengutuk keras aksi kekerasan, apalagi terorisme hingga melukai orang lain.
KOMPAS
0 Komentar