MAHASISWA TARGET REKRUTMEN GERAKAN RADIKAL



Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)

Harus diakui, munculnya radikalisme di jantung pendidikan Islam, baik di masjid, madrasah, pesantren, sekolah, maupun kampus menjadi bukti nyata atas pergeseran otoritas keagamaan, dari yang didominasi oleh kaum moderatisme ke radikalisme. Betapa tidak, hasil penelitian Khamami Zada menyimpulkan paling tidak, wacana yang diyakini dan didakwahkan membawa pemahaman keagamaan radikal, seperti penolakan terhadap Negara Indonesia yang tidak berdasarkan Islam, melainkan Pancasila.

Menurut Khamami jantung pendidikan yang paling banyak dilakukan penetrasi oleh kelompok radikal itu sekolah, kampus, masjid, madrasah dan pesantren. Dipilihnya lembaga pendidikan karena di tempat inilah, pembangunan karakter dimulai dan disebarkan sebagai sarana kaderisasi. Dengan menguasai masjid berarti telah mengontrol corak pemahaman keagamaan masyarakat.

Jika jantung pendidikan Islam telah dikuasai, maka sasaran akhirnya adalah mengubah negara, dengan cara mengganti dasar dan hukumnya. Inilah yang dicita-citakan oleh kelompok Islam radikal, tetapi mereka pun sebenarnya melupakan kerapuhan yang mereka miliki dalam membangun konsolidasi gerakan yang berbeda-beda orientasinya. (Edukasi Volume VII Nomor 4, Oktober-Desember 2009:26).

Ihwal menguatnya radikalisme di perguruan tinggi dapat kita lihat dari hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menunjukkan sebanyak 39% mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi paham radikal.

Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung, menjelaskan hasil temuan ini menguatkan dugaan bahwa generasi muda adalah target penyebaran radikalisme dan kampus rentan menjadi tempat penyebarannya. (Antara Sumbar, 26/7/2017).

Bandingkan dengan hasil penelitian LIPI pada 2006 menunjukkan sebanyak 86 persen mahasiswa dari lima perguruan tinggi di Pulau Jawa menolak Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam. Hasil survei The Pew Research Center pada 2015 menyebutkan 4% orang Indonesia mendukung ISIS (Media Indonesia, 19/02/2016).

Bagi Saifuddin persentuhan kalangan mahasiswa dengan radikalisme Islam tentu bukan sesuatu yang muncul sendiri di tengah-tengah kampus. Pasalnya, adanya proses komunikasi dengan jaringan-jaringan radikal di luar kampus menjadi faktor menyeruaknya radikalisme.

Memang perguruan tinggi umum, ada kecenderungan mahasiswanya mendukung segala tindakan radikalisme itu sangat tinggi. Hal itu didapat dari hasil penelitian tentang Islam kampus yang melibatkan 2.466 sampel mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Dukung sweeping

Saat mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan amar makruf nahi munkar dalam bentuk sweeping tempat-tempat yang dianggap sumber maksiat, mereka menjawab: sekitar 65% (1.594 responden) mendukung dilaksanakannya sweeping kemaksiatan, 18% (446 responden) mendukung sekaligus berpartisipasi aktif dalam kegiatan sweeping. Sekitar 11% (268 responden) menyatakan tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden) tidak memberikan jawabannya.

Mereka yang mendukung sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping itu sebagai bagian dari perintah agama (88%), mendukung sweeping karena berpendapat bahwa aparat keamanan tidak mampu menegakkan hukum (4%), dan karena alasan dekadensi moral (8%).

Banyaknya responden yang menganggap kegiatan sweeping termasuk perintah agama merupakan sesuatu yang sangat disayangkan. Pasalnya, ajaran Islam melarang kemaksiatan adalah benar, tetapi Islam sangat menekankan ditempuhnya cara-cara dakwah yang santun, baik, cerdas dalam amar makruf maupun nahi munkar. Bila tindakan sweeping tempat-tempat kemaksiatan terus dilakukan justru akan melahirkan ketegangan-ketegangan baru dengan mereka yang berada di tempat-tempat lain.

Apabila laporan penelitian yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama tahun 1996 pada empat perguruan tinggi sekuler (UI, UGM, Unair, dan Unhas) menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas keagamaan di empat kampus umum sekaligus menjadi tempat yang paling potensial berkembangnya aktivitas keislaman (religius) yang cenderung eksklusif dan radikal. Dengan demikian, revivalisme Islam tidak muncul dari kampus-kampus berbasis keagamaan, tetapi dari kampus-kampus sekuler (umum).

Perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi target perekrutan gerakan-gerakan radikal, daripada perguruan tinggi berbasis keagamaan yang dianggap lebih sulit. Ternyata faktanya menunjukkan gerakan radikal pun sudah marak dan subur di kampus-kampus berbasis keagamaan. Pergeseran dari perguruan tinggi umum ke keagamaan dapat membuktikan; Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosis bentuk dan strategi gerakan di internal gerakan-gerakan radikal. (Analisis, Volume XI Nomor 1, Juni 2011:28-29).

Dalam pengukuhan guru besarnya, Masdar Hilmy menegaskan gerakan radikalisme lebih sering menyerang mahasiswa di universitas umum dengan jurusan eksakta (matematika, fisika, kimia, dan biologi).

”Mahasiswa eksakta di universitas umum lebih mengandalkan ilmu logika dalam setiap memutuskan segala hal, kalau di UIN yang sudah sering diberi wawasan tentang madzab dalam Islam maka akan lebih bisa mengambil keputusan tentang tawaran bergabung gerakan radikalisme,” katanya.

Guru Besar UIN Surabaya ini mencontohkan gerakan radikalisme yang dilakukan kelompok bawah tanah memberikan pesan bahwa kelompok bawah tanah jarang tersentuh oleh kebijakan pemerintah.

Ini menjadi pemicu radikalisme, tidak adanya persamaan persepsi antara kebijakan dengan kelompok atau golongan, adanya dorongan rasa ingin tahu tanpa diimbangi perhatian dari orang tua untuk mahasiswa. ”Gerakan radikalisme yang lebih sering ditujukan pada mahasiswa karena masa itulah sering terjadi pemberontakan dalam diri untuk memenuhi kebutuhan dan tidak stabilnya emosi mahasiswa serta keluarga yang tidak ada perhatian dan lingkungan yang tidak islami,” ujarnya. (Antara Jatim, 6/4/2016).
Faktor internalisasi

Hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2012 tentang potensi radikalisme di kalangan mahasiswa perguruan tinggi agama ini, menunjukkan hasil yang berbeda dengan kesimpulan mainstream dan teori besar (grand theory) radikalisme selama ini.

Jika teori besar selama ini menyatakan bahwa potensi radikalisme kerap kali dimotivasi dan dilatari oleh konteks sosiopolitik gerakan anti-Barat, maka penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan pendalaman kualitatif ini justru menunjukkan kecendrungan berbeda.

Pertama, potensi radikalisme di kalangan mahasiswa justru timbul karena faktor internalisasi pemahaman keagamaan yang cenderung ideologis dan tertutup dan tidak semata-mata beriringan dengan gerakan radikalisme yang bermotif politik anti Barat; Kedua, potensi radikalisme yang berbasis pada pemahaman ideologis yang cenderung kaku dan hitam-putih itu terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa Muslim, Katolik, Kristen, Hindu, maupun Buddha. (Harmoni,Vol. 12, Nomor 3, September-Desember 2013:68-69, Asy-Syir’ah, Vol. 49, No. 2, Desember 2015:302-303).

M Zaki Mubarak menguraikan secara rinci tentang radikalisme di UIN Jakarta. Sejak 2009 ada tiga mahasiswa (alumni) berinisial AR, SJ, dan FF terlibat dalam kasus rangkaian terorisme Bom Mega Kuningan (bom bunuh diri di JW Merriott dan Ritz Carlton) karena terdakwa menyembunyikan dua gembong teroris Bom Mega Kuningan (Syaifudin Zuhri dan Syahrir). Pada September 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,majelis hakim memvonis ketiga tersangka Bom Mega Kuningan dengan 4 tahun 6 bulan penjara yang semula dituntut 7 tahun penjara.

Pada bulan April 2011, peristiwa teror ”Bom Buku” terjadi. Dari 17 terduga teroris yang ditangkap diketahui empat (Pepi Fernando, M Fadil. Hendi Suhartono alias Jokaw, dan Muhammad Maulani Sani) di antaranya ternyata merupakan alumni (pernah menempuh kuliah) di UIN Jakarta. Pepi menjadi aktor utama aksi teror bom buku yang dikirimkan kepada Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Dhani, Yapto Soerjoseomarno, dan Gorris Mere, bahkan Pepi dan jaringannya tengah mempersiapkan pengeboman sebuah gereja.

Menurut Zaki, diduga kuat berkembangnya pemahaman keberagamaan radikal di UIN Jakarta ini tidak dapat dipisahkan dengan fakta terjadinya perubahan iklim kehidupan kampus yang lebih terbuka pascareformasi politik 1998. Longgarnya kegiatan kemahasiswaan di kampus telah menjadikan perguruan tinggi (UIN Jakarta), sebagai ajang kontestasi berbagai kelompok dan aliran keagamaan yang semakin beragam.

Fenomena keberagamaan radikal yang semakin meningkat di kalangan mahasiswa, dapat dilihat sebagai efek dari tren yang lebih besar atau nasional (makro). Meskipun UIN Jakarta lama dikenal sebagai kampus Islam yang getol mengampanyekan pemikiran keagamaan modern, bahkan dianggap liberal, nyatanya institusi pendidikan Islam ini tidaklah imun dari gelombang perubahan-perubahan tersebut.

Bila dulu hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, Unair, dan Unhas) menjadi tempat potensial atas berkembangnya aktivitas keislaman yang cenderung eksklusif, radikal. Kini perguruan tinggi keagamaan pun tidaklah kuat menghadapi gempuran dari pengaruh radikalisme ini.

Dengan demikian, radikalisme memang telah nyata hadir terjadi di kampus mulai dari perguruan tinggi umum (sekuler), sampai kampus berbasis keagamaan. Sudah saatnya kampus menjadi pelopor bangsa dalam mencetak generasi beradab dengan cara medeklarasikan kampus antiradikalisme. Semoga.

PR

Posting Komentar

0 Komentar