Pada awalnya hati Shandra Woworuntu (27), mantan analis keuangan di sebuah bank di Indonesia, berbuncah gembira. Seolah doanya terjawab, surat lamarannya bekerja magang di sebuah hotel di Chicago, Amerika Serikat, mendapat jawaban positif.
Dia dinyatakan lolos dan diterima bekerja magang selama enam bulan. Saat itu, Shandra baru diberhentikan dari bank tempatnya bekerja. Berbekal selembar tiket, visa, dan sejumlah uang, Shandra berangkat ke AS untuk menjemput impiannya.
Ketika itu, dia yakin sudah akan kembali ke Tanah Air dengan membawa banyak uang setidaknya dalam enam bulan ke depan. Sejumlah orang menjemputnya di Bandar Udara Kennedy, New York. Mereka bertanya memastikan dia benar bernama Shandra.
Percakapan tersebut adalah satu-satunya momen yang paling dia ingat. Sebab, setelah itu para penjemput tersebut membawanya beserta dua perempuan lain di bawah ancaman pistol.
"Mereka menempelkan pistol di kepala saya. Yang saya pikirkan ketika itu hanyalah berusaha tetap tenang dan bertahan hidup. Saya bahkan tak paham apakah saya diculik," ujar Shandra dalam bahasa Inggris terbata-bata.
Shandra menceritakan semua petaka terbesar dan kisah tragis dalam hidupnya itu saat diwawancara kantor berita Perancis, AFP, Selasa (28/1/2014), di Humanity United, Washington.
Sejak hari pertama menjejakkan kaki di AS, Shandra dipaksa menjadi pekerja seks komersial di sebuah rumah bordil di kota New York. Bersama korban lainnya, mereka "ditawarkan" kepada para hidung belang di sejumlah hotel dan kasino di kota itu.
Bersama Shandra ada banyak korban lain, kebanyakan masih berusia remaja dan bahkan seorang anak perempuan berusia 10-12 tahun. Dia mengaku menyesal tak tahu dari mana anak itu berasal lantaran tak bisa mengenali bahasanya.
Shandra bahkan tak lagi tahu berapa lama dia berada di AS. Yang dia ingat, satu waktu suhu udara semakin dingin beberapa bulan dia disekap dan dipaksa menjadi pekerja seks. Dia juga dipindah-pindah di bawah mucikari berbeda-beda.
Salah seorang mucikari berkebangsaan Malaysia bernama Johnnie Wong. Shandra dan korban lain dibawa berpindah-pindah dengan kendaraan van berkaca gelap dan dijaga tukang pukul berbadan raksasa.
Pada satu kesempatan, Shandra berhasil kabur bersama salah seorang rekannya senasib. Mereka keluar dari jendela kamar mandi dan nekat melompat dari lantai dua. Beruntung mereka selamat tak terluka.
FBI tak percaya
Setelah kabur, Shandra dan rekan senasibnya masih harus berjuang, terutama meyakinkan sejumlah pihak terhadap pengaduan mereka. Sangat disayangkan, selama beberapa pekan mencoba mencari perlindungan, pihak-pihak yang mereka datangi tak ada yang memercayai ceritanya.
Padahal, tak cuma meminta perlindungan dan mengadu kepada gereja, mereka juga telah mencoba melapor ke kepolisian, dan bahkan Biro Investigasi Federal AS (FBI) yang justru tak bekerja "seprofesional" seperti di dalam film-film Hollywood.
Dalam upayanya itu, Shandra bahkan pernah jatuh kembali ke tangan mucikari lain. Beruntung dia kembali lolos dan mendapatkan perlindungan semestinya dari lembaga swadaya masyarakat Safe Horizon, yang khusus menangani korban praktik perdagangan manusia.
Aliansi untuk Menghentikan Perbudakan dan Perdagangan Manusia di AS (Humanity United) menyebut Shandra sebagai salah satu dari 14.000 hingga 17.000 korban pria, wanita, dan anak-anak.
Mereka setiap tahun diselundupkan ke AS untuk kemudian dipaksa menjadi pekerja seks atau pekerja paksa di sejumlah pertanian, bar, dan pabrik-pabrik yang ada di seluruh AS.
"Semua itu kejahatan terorganisasi oleh organisasi kriminal," ujar direktur aliansi, Melysa Sperber.
Menurut Sperber, organisasinya telah mendesak Pemerintah AS bertindak tegas. Terlebih dalam laporan tahunan perdagangan manusia global 2013, Pemerintah AS mengakui negaranya menjadi negara "sumber, transit, dan tujuan, baik pria, wanita, maupun anak-anak, dari dalam dan luar negeri".
Pemerintah AS juga mengakui, para korban dijadikan tenaga kerja paksa, perbudakan modern, dan bahkan pekerja seks.
Yang mengejutkan, dalam laporan tahunan, Pemerintah AS pada 2013 juga menyebut Indonesia sebagai negara asal korban perbudakan dan perdagangan manusia ke AS.
Lebih lanjut, walau masih sangat terluka secara emosional dan psikologis, Shandra membantu aparat keamanan AS meringkus salah satu jaringan kriminal yang pernah memperdagangkannya.
"Saya akan terus membantu. Jika saya tak berjuang menyuarakan mereka, yang masih berada dalam bayang-bayang dan tak mampu bersuara, pemerintah, masyarakat, dan dunia tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
TRIBUN
0 Komentar