Ancaman bahaya letusan Gunung Merapi terus mengkhawatirkan. Hujan dengan intensitas tinggi di atas gunung memicu luncuran banjir lahar dingin yang cukup besar. Banjir lahar dingin itu, kini mengancam ribuan warga yang tinggal di bantaran sungai.
Kemarin pagi (7/11) banjir lahar dingin dengan skala besar terjadi di Kabupaten Magelang, tepatnya di Kali Putih dan Kali Pabelan yang bersumber dari Kali Senowo. Akibatnya, sebuah rumah milik warga Pabelan Kecamatan Mungkid nyaris ambrol setelah pondasinya tergerus banjir.
Pemilik rumah Sigit Wibowo, 45, memilih mengungsi ke Semarang pascaluapan banjir lahar dingin kali pertama. "Pondasi rumah sudah roboh. Bahkan satu ruangan sudah tidak berbatasan lagi dengan sungai," kata Sigit, 40, warga setempat.
Hal serupa dialami rumah-rumah warga di bantaran Kali Putih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Sedikitnya ada lima rumah yang berdekatan dengan jalan utama Magelang-Jogjakarta yang nyaris ambles.
Banjir lahar dingin kali ini menjadi yang terbesar selama erupsi Merapi. Batu-batuan besar beserta pepohonan terlihat hanyut terbawa arus deras di kali. "Kita sudah instruksikan kepada warga melalui pemerintah desa supaya mereka yang berada di bantaran sungai untuk mengungsi," tegas Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang, Utoyo, kemarin.
Menurut dia hujan deras masih mengguyur puncak Merapi. Sehingga kemungkinan besar lahar dingin yang akan mengalir bertambah deras. Banjir lahar dingin, tak kalah berbahaya selain awan panas Merapi. Banjir ini kekuatan luar biasa yang mampu merusak infrastruktur yang ada.
Sementara itu, ancaman banjir lahar dingin membuat 3000 warga Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang angkat kaki ke Desa Banjarroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo akibat takut ancaman banjir lahar Gunung Merapi. Meskipun jarak Kecamatan Ngluwar dengan Gunung Merapi sekitar 35 km.
Mereka yang mengungsi rata-rata warga yang tinggal di sekitar alur Kali Putih dan Kali Krasak. Di antaranya Desa Blongkeng, Bligo, Somokaton di Kecamatan Ngluwar, serta Desa/Kecamatan Salam. Mereka mengungsi sejak Kamis (4/11) malam saat Gunung Merapi meletus dahsyat.
Menurut Kepala Desa Blongkeng Yulianta, sebanyak 657 warganya telah mengungsi. Saat ini yang tersisa hanya kalangan anak muda untuk berjaga-jaga. "Di Dusun Sabrangkali dari 140 kepala keluarga tinggal 10 KK yang tersisa. Warga sangat ketakutan," kata Yulianta.
Dijelaskan, posisi Desa Blongkeng yang terletak di antara dua sungai yakni Kali Putih dan Kali Blongkeng, kerap menjadi sasaran terjangan lahar dingin. Karena kedua sungai ini sama-sama berhulu di Gunung Merapi dan sudah berulangkali mengalirkan lahar. "Kedua sungai itu sangat berbahaya karena membawa material vulkanik Gunung Merapi. Jika terkena lahar dingin, warga mengungsi ke Kalibawang," jelasnya.
Sementara itu, peristiwa banjir lahar dingin ini menjadi tontonan yang jarang dinikmati warga Magelang. Mereka menyempatkan diri untuk melihat langsung banjir yang membawa material merapi itu. Tidak sedikit yang mengabadikannya dengan ponsel pribadinya.
"Luar biasa batu sebesar gajah hanyut seperti buih dibawa gelombang, pohon-pohon kelapa juga ikut hanyut. Banjir lahar ini merupakan yang paling besar," kata Abduh, warga Kecamatan Mertoyudan yang menyempatkan menonton kejadian itu.
Melihat warga yang berdatangan, aparat TNI dan Polri terpaksa menjaga kawasan Kali Pabelan, karena para pengguna jalan Magelang-Jogjakarta banyak yang menyempatkan diri melihat kejadian tersebut.
Erupsi Merapi juga membuat petani yang tinggal di sekitarnya merugi. Pasalnya, hujan abu vulkanik disertai pasir meluluhlantahkan lahan pertanian mereka.
Data yang dihimpun oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Disperbunhut) Kabupaten Magelang mencatat ratusan ribu lahan pertanian di Kecamatan Srumbung, Dukun dan Sawangan rusak parah. Bahkan, diprediksi petani di kawasan itu gagal panen.
Kepala Disperbunhut, Wijayanti, mengatakan bahwa kerusakan terjadi pada komuditas pertanian seperti buah-buahan, sayuran, palawija dan padi. "Jumlahnya mencapai ratusan ribu hektar. Kita masih melakukan pendataan yang pasti," katanya.
Menurut dia, data yang baru terhimpun adalah kerusakan di area persawahan yang mencapai1762 hektar. Di Srumbung terdapat 517 hektar, Dukun 263 hektar dan Sawangan 992 hektar. "Padahal, Sawangan sejauh ini menjadi sentra tanaman padi di Magelang," katanya.
Menurutnya, tanaman padi yang siap panen ambruk tertimbun abu vulkanik dan pasir merapi. "Sebenarnya tanaman tersebut bisa diselamatkan asalkan setelah tertimpa abu segera di siram dengan air," kata dia.
Namun, karena para petani di kawasan tersebut mengungsi, mereka tidak bisa melakukan perawatan dan dipastikan gagal panen," tambah dia.
Usia padi yang rusak ini, kata dia, berkisar antara 4-5 bulan. Sehingga, kata dia, tanaman tersebut sudah siap dipanen. "Nanti akan kita upayakan untuk membantu para petani di wilayah itu," kata dia.
Sementara itu, pantauan koran ini, kerusakan area perkebunan dan persawahan tidak hanya terjadi di tiga wilayah tersebut. Beberapa kecamatan lain seperti Mungkid, dan Mertoyudan juga mengalami nasib serupa.
Kardi, 45, Warga Desa Mendut Kecamatan Mungkid mengatakan tanaman padi miliknya rusak paska hujan abu yang terjadi Jumat (7/11) lalu. Seluruh tanaman seluas hampir setengah hektar ambruk.
Padahal, kata dia, usia padi yang dimilikinya hampir mencapai 5 bulan. "Ini sudah mau panen. Tapi malah terkena abu bercampur pasir. Jadi semuanya rusak," kata dia, kemarin.
Saat ini, katanya, dia hanya berusaha mengais sejumlah padi yang masih bisa dipanen meskipun tidak banyak. "Tepaksa apa adanya mas, mau bagaimana lagi," keluhnya.
Akibat kejadian ini, Kardi mengaku merugi hingga puluhan juta rupiah. "Kalau bisa ya pemerintah ikut memperhatikan kami petani kecil," harapnya.
Kemarin pagi (7/11) banjir lahar dingin dengan skala besar terjadi di Kabupaten Magelang, tepatnya di Kali Putih dan Kali Pabelan yang bersumber dari Kali Senowo. Akibatnya, sebuah rumah milik warga Pabelan Kecamatan Mungkid nyaris ambrol setelah pondasinya tergerus banjir.
Pemilik rumah Sigit Wibowo, 45, memilih mengungsi ke Semarang pascaluapan banjir lahar dingin kali pertama. "Pondasi rumah sudah roboh. Bahkan satu ruangan sudah tidak berbatasan lagi dengan sungai," kata Sigit, 40, warga setempat.
Hal serupa dialami rumah-rumah warga di bantaran Kali Putih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Sedikitnya ada lima rumah yang berdekatan dengan jalan utama Magelang-Jogjakarta yang nyaris ambles.
Banjir lahar dingin kali ini menjadi yang terbesar selama erupsi Merapi. Batu-batuan besar beserta pepohonan terlihat hanyut terbawa arus deras di kali. "Kita sudah instruksikan kepada warga melalui pemerintah desa supaya mereka yang berada di bantaran sungai untuk mengungsi," tegas Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang, Utoyo, kemarin.
Menurut dia hujan deras masih mengguyur puncak Merapi. Sehingga kemungkinan besar lahar dingin yang akan mengalir bertambah deras. Banjir lahar dingin, tak kalah berbahaya selain awan panas Merapi. Banjir ini kekuatan luar biasa yang mampu merusak infrastruktur yang ada.
Sementara itu, ancaman banjir lahar dingin membuat 3000 warga Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang angkat kaki ke Desa Banjarroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo akibat takut ancaman banjir lahar Gunung Merapi. Meskipun jarak Kecamatan Ngluwar dengan Gunung Merapi sekitar 35 km.
Mereka yang mengungsi rata-rata warga yang tinggal di sekitar alur Kali Putih dan Kali Krasak. Di antaranya Desa Blongkeng, Bligo, Somokaton di Kecamatan Ngluwar, serta Desa/Kecamatan Salam. Mereka mengungsi sejak Kamis (4/11) malam saat Gunung Merapi meletus dahsyat.
Menurut Kepala Desa Blongkeng Yulianta, sebanyak 657 warganya telah mengungsi. Saat ini yang tersisa hanya kalangan anak muda untuk berjaga-jaga. "Di Dusun Sabrangkali dari 140 kepala keluarga tinggal 10 KK yang tersisa. Warga sangat ketakutan," kata Yulianta.
Dijelaskan, posisi Desa Blongkeng yang terletak di antara dua sungai yakni Kali Putih dan Kali Blongkeng, kerap menjadi sasaran terjangan lahar dingin. Karena kedua sungai ini sama-sama berhulu di Gunung Merapi dan sudah berulangkali mengalirkan lahar. "Kedua sungai itu sangat berbahaya karena membawa material vulkanik Gunung Merapi. Jika terkena lahar dingin, warga mengungsi ke Kalibawang," jelasnya.
Sementara itu, peristiwa banjir lahar dingin ini menjadi tontonan yang jarang dinikmati warga Magelang. Mereka menyempatkan diri untuk melihat langsung banjir yang membawa material merapi itu. Tidak sedikit yang mengabadikannya dengan ponsel pribadinya.
"Luar biasa batu sebesar gajah hanyut seperti buih dibawa gelombang, pohon-pohon kelapa juga ikut hanyut. Banjir lahar ini merupakan yang paling besar," kata Abduh, warga Kecamatan Mertoyudan yang menyempatkan menonton kejadian itu.
Melihat warga yang berdatangan, aparat TNI dan Polri terpaksa menjaga kawasan Kali Pabelan, karena para pengguna jalan Magelang-Jogjakarta banyak yang menyempatkan diri melihat kejadian tersebut.
Erupsi Merapi juga membuat petani yang tinggal di sekitarnya merugi. Pasalnya, hujan abu vulkanik disertai pasir meluluhlantahkan lahan pertanian mereka.
Data yang dihimpun oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Disperbunhut) Kabupaten Magelang mencatat ratusan ribu lahan pertanian di Kecamatan Srumbung, Dukun dan Sawangan rusak parah. Bahkan, diprediksi petani di kawasan itu gagal panen.
Kepala Disperbunhut, Wijayanti, mengatakan bahwa kerusakan terjadi pada komuditas pertanian seperti buah-buahan, sayuran, palawija dan padi. "Jumlahnya mencapai ratusan ribu hektar. Kita masih melakukan pendataan yang pasti," katanya.
Menurut dia, data yang baru terhimpun adalah kerusakan di area persawahan yang mencapai1762 hektar. Di Srumbung terdapat 517 hektar, Dukun 263 hektar dan Sawangan 992 hektar. "Padahal, Sawangan sejauh ini menjadi sentra tanaman padi di Magelang," katanya.
Menurutnya, tanaman padi yang siap panen ambruk tertimbun abu vulkanik dan pasir merapi. "Sebenarnya tanaman tersebut bisa diselamatkan asalkan setelah tertimpa abu segera di siram dengan air," kata dia.
Namun, karena para petani di kawasan tersebut mengungsi, mereka tidak bisa melakukan perawatan dan dipastikan gagal panen," tambah dia.
Usia padi yang rusak ini, kata dia, berkisar antara 4-5 bulan. Sehingga, kata dia, tanaman tersebut sudah siap dipanen. "Nanti akan kita upayakan untuk membantu para petani di wilayah itu," kata dia.
Sementara itu, pantauan koran ini, kerusakan area perkebunan dan persawahan tidak hanya terjadi di tiga wilayah tersebut. Beberapa kecamatan lain seperti Mungkid, dan Mertoyudan juga mengalami nasib serupa.
Kardi, 45, Warga Desa Mendut Kecamatan Mungkid mengatakan tanaman padi miliknya rusak paska hujan abu yang terjadi Jumat (7/11) lalu. Seluruh tanaman seluas hampir setengah hektar ambruk.
Padahal, kata dia, usia padi yang dimilikinya hampir mencapai 5 bulan. "Ini sudah mau panen. Tapi malah terkena abu bercampur pasir. Jadi semuanya rusak," kata dia, kemarin.
Saat ini, katanya, dia hanya berusaha mengais sejumlah padi yang masih bisa dipanen meskipun tidak banyak. "Tepaksa apa adanya mas, mau bagaimana lagi," keluhnya.
Akibat kejadian ini, Kardi mengaku merugi hingga puluhan juta rupiah. "Kalau bisa ya pemerintah ikut memperhatikan kami petani kecil," harapnya.
0 Komentar