Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus dugaan penodaan agama, hanya karena korban kriminalisasi dan telah terjadi pelanggaran terhadap "due process of law" dan hak asasi manusia (HAM). Pengadilan kepada Ahok tak lebih dari akibat tekanan massa.
Begitulah pandangan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK), setelah mencermati dua persidangan terhadap Ahok, serta menyimak materi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Ahok dan penasehat hukumnya, Selasa (13/12/2016) dan tanggapan Jaksa terhadap nota keberatan Ahok dan penasehat hukumnya, Selasa (20/12/2016).
"Kami ingin menegaskan kembali bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah korban kriminalisasi karena telah terjadi pelanggaran terhadap 'due process of law' dan hak asasi manusia, dan pengadilan ini tidak lebih dari akibat tekanan massa," demikian pernyataan AMSIK dalam siaran persnya, Kamis (22/12/2016).
Beberapa alasan AMSIK menganggap Ahok korban kriminalisasi yakni, pertama, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan pada pendapat dan sikap keagamaan MUI pada 11 Oktober 2016. Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif.
Pada prinsipnya di dalam menjalankan proses hukum kita tidak bisa menjadikan fatwa MUI sebagai bagian dari landasan hukum dan kita menyesalkan ini terutama dalam proses persidangan Ahok. Fatwa itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti.
Alasan lainnya, AMSIK melihat JPU telah mengabaikan UU 1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya saat menggunakan pasal 156a terhadap Ahok.
Menurut AMSIK, JPU mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.
"Apabila Ahok masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana. Dakwaan JPU tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi," tegas AMSIK.
NETRALNEWS
Jual Madu atasi ejakulasi dini, Pelangsing Badan, Solusi Keputihan, Sepatu Nike, HP Android, dll hub SMS/WA 089665962851
0 Komentar