Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)
Menyusul kasus pernikahan singkat antara Bupati Garut, Aceng Fikri, dengan seorang gadis remaja, yang menyebabkan kemarahan publik secara luas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan agar semua pernikahan supaya dicatatkan secara legal, tidak hanya secara agama.
Ketua MUI Amidhan kepada VOA, Kamis (6/12) mengatakan, sejak 2006 MUI telah melarang pernikahan yang tidak dicatatkan atau pernikahan siri. Bagi yang telah menikah secara agama Islam, agar segera mendaftarkan pernikahan tersebut ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk dilegalkan, ujar Amidhan.
“Praktik pernikahan siri harus diakhiri karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan,” ujar Amidhan.
“Yang kedua, pernikahan siri tidak memenuhi maksud agama tentang pernikahan, walaupun itu sah. Dalam pernyataan para ulama pada waktu itu, mereka yang sudah terlanjur melakukan perkawinan siri, supaya dia melaporkan ke kantor urusan agama atau pengadilan agama. Kalau non-Muslim dicatatkan di kantor catatan sipil kantor walikota atau bupati. Hal ini dilakukan agar legal. Dengan dilegalkan itu, dia akan mendapatkan buku nikah. Sehingga istri dan anak-anaknya itu menjadi resmi. Majelis Ulama Indonesia intinya telah melarang adanya pernikahan siri,” tambah Amidhan.
Menurut Amidhan, aturan dalam yurisprudensi Islam (fiqih) yang digabung dengan hukum negara, yaitu UU No. 1/1974 melarang orang menikah tanpa dicatat secara legal.
Demikian juga untuk perceraian, lanjut Amidhan, Peraturan Pemerintah No. 9/1975 menegaskan bahwa setiap perkawinan dalam agama Islam harus dicatat negara. Pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32/ 1954 tentang pencatatan nikah, ujar Amidhan.
Dalam kasus pernikahan siri yang dilakukan oleh Bupati Garut Jawa Barat, Aceng HM Fikri, Amidhan menjelaskan Aceng telah melanggar etika dalam hukum Islam dan undang-undang perkawinan.
“Perkawinan Bupati Garut secara agama sah, namun melanggar etika dan undang-undang. Karena perkawinan dalam Islam itu sesuai dengan Surat Ar-Rum ayat 25 itu ya sedapat mungkin selamanya. Karena perkawinan itu harus dibangun untuk menentramkan. Bupati Garut hanya menikah selama empat hari, itu semacam mempermainkan agama. Dan yang lebih mempermainkan lagi, perceraiannya itu dilakukan hanya melalui sms,” ujar Amidhan.
Aktivis dari Jurnal Perempuan Dewi Chandraningrum menyambut baik sikap dari MUI yang melarang adanya pernikahan siri, yang menurutnya meletakkan perempuan dalam posisi yang sangat lemah. Perempuan yang dinikahi secara siri, menurut Dewi, rentan mengalami kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual.
“Saya kira itu kemajuan yang luar biasa ya. Terima kasih sekali kalau MUI bisa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Karena perkawinan siri, siri itu kan rahasia ya, sangat rentan terhadap praktik-praktik eksploitasi. Rentan terhadap praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Juga rentan terhadap praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan,” ujar Dewi.
“Itu sangat berbahaya karena dalam praktik itu perkawinan tidak tercatat, kalau tidak tercatat si perempuan rentan terhadap proses eksploitasi. Hal itu juga merugikan seorang anak yang orang tuanya melakukan perkawinan siri. Si anak akan mengalami kesulitan saat pengurusan administrasi dan secara hukum serta mengalami beban psikologis.”
Aceng, 40, memicu kemarahan publik saat ia menceraikan Fani Octora, 18, hanya melalui pesan singkat (SMS). Fani telah melaporkan Aceng ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas dasar empat pasal KUHP, yaitu Pasal 280 (penghalang perkawinan), 378 (penipuan), 310 (fitnah), dan 335 (perbuatan tidak menyenangkan).
Menurut laporan media setempat, Fani dan keluarganya menyatakan sudah islah atau berdamai dengan Aceng Fikri. Meski demikian Mabes Polri menyatakan tetap akan mengusut laporan Fani terhadap mantan suaminya itu, karena Fani sebagai pelapor belum mencabut tuduhan itu. Termasuk pula dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh Aceng tetap akan diusut.
Sementara itu pada Rabu (5/12), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut (DPRD Garut) telah membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus pelanggaran etik dan perundang-undangan oleh Aceng.
VOA
0 Komentar