MANTAN ANGGOTA POLRI TUNTUT 5 JENDRAL ATASANNYA



Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...

Saiful Syamsudin, mantan anggota Polri yang dipecat tidak hormat, terpaksa hidup berpindah-pindah selama 14 tahun terakhir demi mendapatkan hak pembayaran tanahnya seluas 152 hektare senilai Rp750 miliar dari korps yang membesarkannya, Polri.

Saiful mengaku merasa khawatir akan keselamatannya, karena telah mengadukan empat mantan kapolri dan seorang mantan wakapolri ke delapan lembaga negara dalam kasus dugaan pidana pembayaran tanahnya, termasuk yang terakhir ke Bareskrim Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selama 14 tahun itu pula, Saiful meninggalkan istri dan empat anaknya di Aceh Besar, Aceh, dan hidup di Jakarta dengan berpindah-pindah tempat tinggal.

"Saya hidup berpindah-pindah sudah 14 tahun. Takut sih tidak, yang saya inginkan hanya apa yang menjadi hak saya. Istri dan empat anak saya, saya tinggalkan di Aceh Besar, tapi enggak apa-apa, karena komunikasi tetap lancar. Saya tak ingin menyulitkan mereka. Cukup saya yang berjuang di Jakarta ini," ujar Saiful saat berbincang dengan Tribun, Minggu (13/3/2011).

Lima jenderal yang dilaporkan Saiful, yakni mantan Kapolri Jenderal (Purn) S Bimantoro, Jenderal (Purn) Da'i Bachtiar, Jenderal (Purn) Soetanto, Jenderal (Purn) Bambang Hendarson Danuri, dan mantan Wakapolri Komjen (Purn) Makbul Padmanegara.

Baru pada 3 Maret 2011 Saiful berani melaporkan kelima jenderal itu ke Bareskrim, karena setelah selama 14 tahun tanahnya seluas 152 hektare senilai Rp750 miliar di Lhokseumawe telah diserobot insitusi Polri tanpa dibayar. Kini tanah Saiful telah dijadikan Markas Komando Brimob dan dijadikan lapangan tembak.

Saiful menceritakan, awalnya Polri berniat membangun Mako Brimob pada 11 Desember 1996. Saat masih anggota Polri kala itu, Saiful yang memiliki tanah luas membuat kesepakatan-kesepakatan jual beli tanah sehingga muncul harga Rp 55 miliar untuk 10 hektar. Namun, transaksi pembayaran tak pernah terjadi.

Tiba-tiba, lanjut Saiful, pada 30 September 1997, tanah itu langsung diambil dan digunakan begitu saja oleh Polri dengan mengklaim mendapat hibah dari Pemda setempat. Bahkan perjanjian pemborongan yang tadinya akan dikerjakan juga oleh PT Banda Kersa mendadak dialihkan ke perusahaan lain.

Padahal, Bupati dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) kala itu telah memprotes akta hibah tersebut.

Setelah membentuk tim untuk membereskan masalah tanah ini, Mabes Polri melalui nota dinas Binkum Polri nomor B/ND-416/XII/2006 tertanggal 27 Desember 2006, menyatakan kewajiban Polri membayar harga tanah sesuai perjanjian.

Dan setiap kali kapolri berganti, mereka berjanji akan membayar tanahnya secepatnya. Namun, telah empat kali kapolri berganti, tak sepeser pun uang Polri keluar sampai ke Saiful.

Saiful mengaku dipecat dengan tidak hormat (PTDH) saat bertugas sebagai Kanit di Satuan Reskrim Polres Aceh Utara, dengan pangkat terakhir sersan mayor (setara dengan brigadir kepala) pada 30 Maret 2000 atau di era kapolri Rusdiharjo.

Namun, surat pemberhentiannya baru turun pada 19 Januari 2001 yang ditandangani kapolri selanjutnya, S Bimantoro. Sampai saat ini, Saiful mengaku tak tahu alasan pemecatannya yang dilakukan tanpa sidang etik dan profesi anggota Polri, maupun putusan pengadilan atas kasus pidana tertentu. "Inilah yang namanya rekayasa hukum," ucapnya.

Hasil perjuangannya selama 14 tahun itu adalah surat putusan dari delapan lembaga tinggi negara, yang isinya menguatkan bahwa Polri harus membayar tanahnya.

Manusiawi, sebut Saiful, jika dirinya ada rasa ketakutan karena telah mempidanakan empat mantan kapolri dan seorang wakapolri sekaligus. Namun, bagi Saiful yang mengaku menjadi pimpinan tiga perusahaan ini, pantang menyerah jika harus berhadapan dengan kelima jenderal itu secara hukum.

"Saya percaya, secara profesional Polri akan menghormati kewenangan apapun sesuai peraturan. Tapi, jika ada tujuh oknum jenderal yang melakukan pelanggaran kewenangan, bisa kita tuntut secara pidana dan perdata. Yang saya inginkan adalah agar oknum Polri itu diproses hukum, bukan institusi Polri," ucap Saiful.

Saat perbincangan melalui pesawat telepon ini, Saiful akui komunikasi dirinya ini riskan disadap pihak kepolisian. "Kalau soal teror, itu sudah pasti. Karena sekarang saya bisa jawab yang Anda tanya. Tapi, nanti kalau bertemu orang lain di luar, bisa jadi yang saya ajak bicara itu adalah orangnya Da'i Bachtir atau Bimantoro," ujarnya.

Sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan pasca pelaporan lima jenderal ke Bareskrim Polri dan KPK, Saiful mengaku telat meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 7 Maret 2011 dan Komnas HAM pada 9 Maret 2011.

"Saya ke Komnas, karena pembayaran tanah itu kepada yang berhak adalah bagian dari HAM juga, hak warga negara. Mereka bilang lagi menelaah," ujarnya.

TRIBUN

Posting Komentar

0 Komentar