SENGKARUTNYA PILEG 2014

Ayo Langganan Gratis Berbagi Berita...Jangan lupa Share dan Komen ya :)

Dua anggota DPR RI sekaligus calon legislatif mengadu ke wartawan terkait pelaksanaan pemilihan legislatif 9 April 2014 lalu yang sengkarut sehingga memunculkan maraknya kecurangan. Mereka yakni Achsanul Qosasi, dan Nurul Arifin.

Achsanul Qosasi yang merupakan caleg DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur XI (Pulau Madura) mengatakan, kecurangan yang terjadi di dapilnya berupa transaksi jual beli suara pasca 9 April 2014.

Jual beli suara ini dilakukan penyelenggara pemilu dari tingkat Tempat Pemilihan Suara (TPS), Panitia Pemilihan Suara (PPS) di tingkat kelurahan/desa, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), hingga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

"Saya meminta penyelenggara pemilu dan Bawaslu agar melakukan pencoblosan ulang. Kalau memang tidak bisa pemilu ulang, harus dilakukan penghitungan ulang. Kalau tidak bisa, suara di Sampang tidak sah sama sekali," kata Achsanul di ruang wartawan, Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (29/4).

Dengan kecurangan itu, politisi Partai Demokrat ini merasa dirugikan baik secara partai maupun secara pribadi. Dikatakan, Formulir DB-1 atau surat suara untuk DPR RI, dan DPRD Provinsi tidak dibagikan kepada pemilih oleh penyelenggara pemilu atau panitia di TPS se-kabupaten Sampang.

"Yang ada penzoliman suara rakyat di mana terjadi kecurangan secara masif terhadap suara parpol dan suara caleg. Ini membuktikan bahwa pemilu tidak berlangsung sebagaimana mestinya," kata anggota Komisi XI DPR ini.

Achsanul menyebutkan, ada sejumlah partai yang perolehan suaranya di luar kewajaran, termasuk caleg yang disinyalir melakukan transaksi suara pasca 9 April. Salah satu contoh terjadinya transaksi jual beli suara pasca tanggal 9 April 2014 adalah dilakukan oleh caleg partai Nasdem berdasarkan laporan masyarakat.

"Berikut Form model DB-1 baik DPR RI dan DPRD Provinsi suara caleg fantastis dengan mengalahkan suara partai. Jika di daerah lain yang mencoblos gambar partai selalu tertinggi angkanya, sementara di Sampang justru suara tertinggi coblos caleg. Hal ini harus dimaklumi sebab tidak ada yang pesan suara untuk partai, semua pesanan jual beli suara untuk caleg. Misalnya suara partai Nasdem DPR RI, hanya dapat 1.029 suara. Sementara caleg Nasdem bernama H Slamet Junaidi mendapat 155.652 suara. Ini fantastis," ujarnya.

Setali tiga uang, Nurul Arifin mengalami kondisi sama di dapilnya, Jawa Barat VII (Karawang, Purwakarta, dan Bekasi). Politisi Partai Golkar ini mengibaratkan Pileg 2014 sebagai perang saudara seperti yang tengah terjadi di Suriah. Dalam perang tersebut, sesama warga Suriah saling bantai, saling tembak dan saling bunuh.

"Lawan saya bukan caleg dari partai lain, tapi dari internal sendiri. Seharusnya, sesama caleg satu partai lawannya adalah caleg dari partai lain. Tapi saya menerima kekalahan ini secara legowo dan saya akan komit dengan partai saya," ujar Nurul.

Nurul menyatakan, dengan sistem suara terbanyak, semakin sulit bagi perempuan untuk bisa terpilih, mengalahkah caleg laki-laki. "Ke depan perlu diubah sistem tersebut dan tidak bisa lagi diterapkan sistem suara terbanyak," kata anggota Komisi II DPR ini.

Caleg perempuan Partai Golkar dari Dapil Jawa Timur VII Bini Buchori menyatakan awalnya ia berharap, sistem pemilu dengan suara terbanyak melahirkan anggota DPR RI yang berkualitas dan mampu mewakili aspirasi rakyat. Tapi yang terjadi, dan tumbuh subur adalah mafia-mafia suara dan broker-broker suara.

Selain banyaknya mafia dan broker suara, Pemilu 2014 juga sangat kacau karena fungsi pengawasan oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupuan Badan Pengawas Pemilu, tidak bekerja sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang.

"Masih tidak rapinya pemilu, terutama pengawasan, seperti hilangnya formulir surat suara atau formulir C1, hilangnya suara di PPS, PPK, serta rekapitulasi suara yang dimainkan oleh mafia dan broker tadi," kata Bini.

SIARNUSA 




Posting Komentar

0 Komentar